Monday, July 31, 2017

Mobilitas Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Seluruh manusia di muka bumi ini memiliki status sosial. Status sosial itu sendiri berasal dari orang tua yang melahirkan mereka, namun bukan tidak mungkin status sosial ini dapat berubah. Keinginan untuk mencapai status dan penghasilan yang lebih tinggi dari apa yang pernah dicapai orang tuanya, merupaka impian setiap orang. Tetapi, apakah impian itu bakal menjadi kenyataan atau tidak adalah lain persoalan. Dari sinilah mobilitas sosial mulai berdampak besar.

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Peta Konsep

2.2  Pengertian Mobilitas Sosial

Berikut adalah beberapa pengertian mobilitas sosial:

·         Dalam Sosiologi

Mobilitas sosial adalah proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial uang lebih rendah

·         Menurut Horton dan Hunt (1987)

Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya

Dari pengertian pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.

Tingkat mobilitas sosial pada masing masing masyarakat berbeda beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakat akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta, maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

2.3  Jenis Mobilitas Sosial

Secara prinsip dalam mobilitas sosial terdapat dua macam, yaitu:

1.      Mobilitas Sosial Vertikal

Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat (Soekanto, 1982:244). Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas sosial vertikal, yaitu:

a)      Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Misalnya seorang koki restoran yang berhenti dari pekerjaannya dan membuka restoran sendiri sehingga dia yang menjadi CEO nya.

b)      Gerak sosial yang menurun (social sinking) , yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain yang lebih rendah posisinya. Misalnya, seorang pegawai perusahaan yang dipecat dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran

Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial dimana orang itu hidup. Seseorang yang memiliki gelar bekal pendidikan yang tinggi, bergelar Doktor atau Master misalnya, jika hidup di lingkungan masyarakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebih mudah naik pada kedudukan yang lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.

Sebaliknya, setinggi apa pun pendidikan seseorang, tetapi bila ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai nilai primodialisme dan sistem hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar jenjang kariernya dalam bekerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk saat ini gelar sarjana bukan jaminan bagi seseorang untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah jika ia sama sekali tidak memiliki pihak pihak tertentu yang memberikan rekomendasi.

2.      Mobilitas Sosial Horizontal

Mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya. Seorang buruh petani yang berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan atau tukang becak di kota tidak bisa dikategorikan sebagai mobilitas sosial vertikal karena mereka tidak mengalami perubahan pendapatan atau status sosial secara berarti.

Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela, tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa. Apa yang dilakukan oleh petani di atas bisa digolongkan sebagai mobilitas sosial terpaksa, artinya petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan di sektor pertanian karena ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela: seorang pegawai bank yang sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya dan kemudian ingin berkarier di tempat lain, entah itu sebagai public relation, dosen, atau pekerjaan yang lain.

2.4  Saluran Saluran Mobilitas Sosial Vertikal

Menurut Pitrim A. Soroin, di dalam mobilitas sosial secara vertiikal terdapat beberapa saluran yang terpenting atau paling umum, yaitu:

1.      Angkatan Bersenjata. Dalam keaadan perang di mana setiap negara menghendaki kemenangan maka jasa seorang prajurit tanpa melihat statusnya akan dihargai dalam masyarakat. Karena jasanya dapat menjatuhkan banyak korban, maka dimungkinkan dapat menanjak kedudukannya dan bahkan memperoleh kekuasaan dan wewenang.

2.      Lembaga lembaga pendidikan. Pada umumnya lembaga pendidikan dinilai merupakan saluran yang konkret dari mobilitas sosial vertikal, bahkan lembaga pendidikan formal dianggap sebagai social elevator yang bergerak dari kedudukan yang paling rendah ke kedudukan paling tinggi.

3.      Lembaga lembaga keagamaan. Lembaga ini juga merupakan salah satu saluran mobilitas sosial vertikal walaupun setiap agama menganggap bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sederajat, akan tetapi pemuka pemuka agama selalu berusaha menaikkan mereka yang berkedudukan rendah ke kedudukan yang tinggi.

4.      Organisasi politik. Saluran ini dalam banyak kasus terbukti memberi kesempatan yang cukup besar bagi setiap anggotanya untuk naik dalam tangga kedudukan dalam masyarakat. Bagi mereka yang pandai berorganisasi dalama organisasi politik mendapat kesempatan untuk dipilih sebagai anggota dalam DPR sebagai wakil dari organisasi politik yang mengorbitkannya.

5.      Organisasi ekonomi. Organisasi ini, baik yang bergerak dalam bidang perusahaan maupun jasa umumnya memberikan kesempatan seluas luasnya bagi seseorang untuk mencapai mobilitas sosial vertikal, karena dalam organisasi ini sifatnya relatif terbuka.

2.5  Determinan Mobilitas

Horton dan Hunt (1987) mencatat ada dua faktor yang memengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni:

1.      Faktor struktural, yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja adalah termasuk faktor struktural.

2.      Faktor individu. Yang dimaksud faktor individu adalah kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi, dan lain lain, termasuk faktor kemujuran menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.

Bisa saja di sebuah masyarakat tertentu lapangan kerja yang tersedia relatif masih banyak, di mana setiap hari iklan iklan lowongan kerja terus saja bermunculan. Namun, sepanjang individu individu yang ada ternyata tidak bisa memenuhi kulaifikasi yang dibutuhkan, misalnya mahir berbahasa inggris, maka besar kemungkinan tidak akan terjadi mobilitas vertikal.

Di sisi lain, bisa saja struktur sosial yang ada begitu kaku, di mana kemungkinan seseorang untuk menembus batas batas lapisan sosial relatif kecil, tetapi ternyata masih ada pula satu dua orang yang bisa lolos seleksi karena keberuntungan nasibnya.

2.6  Konsekuensi Mobilitas Sosial

Dampak positif dari mobilitas sosial sudah pasti adalah tercapainya kedudukan atau jabatan yang diidamkan. Namun apa dampak negatifnya?

Beberapa dampak negatif dari adanya mobilitas sosial ini adalah memungkinkan terjadinya ketidakpuasan dan ketidakbahagian di benak seseorang karena impian yang diidamkan tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah.

Secara rinci Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negatif dari mobilitas vertikal, seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau status yang lebih rendah.


BAB III

PENUTUPAN

 

3.1              Kesimpulan

Dari semua penjabaran di atas dapat kita simpulkan bahwa mobilitas sosial merupakan proses perpindahan posisi atau status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam struktur sosial masyarakat. Mobilitas sosial tidak bergerak lurus sesuai dengan status dan peran sosial suatu individu atau kelompok. Jadi disimpulkan bahwa mobilitas sosial bersifat dinamis dan dapat berubah secara cepat maupun lambat.

3.2              Saran

Sebagai manusia kita pasti akan menuntut untuk status dan peran sosialnya sangatlah tinggi, namun sebagai manusia sosial seharusnya kita dapat mengerti dan menyadari mobilitas sosial atau gerakan sosial ini tidak terjadi begitu saja dengan sendirinya. Karena mobilitas sosial terjadi tergantung bagaimana diri kita sendiri menyingkapi status serta peran sosial diri dan menurut prestasi kita masing-masing anggota masyarakat. Oleh karena itu sebaiknya jika memang menginginkan mobilitas naik kita juga tidak boleh duduk diam dalam struktur sosial tetapi kita harus terbuka dan positif terhadap perubahan yang positif juga dimasyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

 

Narwoko, Dwi J., & Suyanto, Bagong. 2004. SOSIOLOGI: Teks Pengantar dan Terapan. Edisi Keempat. Kencana



Untuk download file word (.doc) di atas, silahkan klik link dibawah ini :

No comments:

Post a Comment